Selasa, 22 Juni 2010

Untuk waktu dan untuk kata pertama

Andaikan aku bisa beristirahat dari keletihanku, sudah dari satu minggu yang lalu aku tidur nyenyak. Tak perlu menyiksa diri untuk terus terjaga sampai sampai satu minggu dengan satu alasan.

apa yang akan kamu lakukan, ketika kamu mendengar orang yang telah menyelamatkan banyak nyawa orang berkata padamu kalau waktumu tak lebih dari dua tahun.

Satu yang akan kau pikirkan untuk pertama kali, berharap kalau semua hasil dan prediksi vonis itu salah. Dengan alasan kalau mereka juga manusia, yang bisa melakukan kesalahan di mana pun, kapan pun dan pada siapa pun.

Lalu kau akan sibuk menghitung setiap tarikan nafasmu. Memastikan jantungmu masih bekerja. Selalu melihat waktu. Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun. Tanggal berapa sekarang? seakan kau sedang diburu oleh waktu. Padahal waktu itu hanya diam, diam menanti. Karena kamu yang akan datang pada waktu itu. Atau waktu itu yang terus menghampirimu?

Kemudian, kau akan takut untuk tidur. Karena mungkin kau tidak akan bangun kembali.

Aku yang lain Menjawab semua kegundahanku.

” Berpikir aku akan hidup seratus tahun lagi, mungkin. Kau percaya TUHAN? itu kuncinya. Aku bukan takut untuk tidak bangun lagi, melainkan aku ingin masa-masaku punya cerita dan tidak sia-sia. Aku gagap akan tanggal, hingga tak ada akhir pekan dalam kamusku”.

Manisnya kata-kata yang diucapkannya lewat tengah malam.

Aku tersungkur menahan sakit ini. Hingga tak terasa aku dipeluk malam, sampai sang fajar membangunkanku dan berbisik. Harapan itu pasti ada, Dia- telah memberikan waktu, sebaik-baik waktu untuk seluruh ciptaaannya. Maka, isi waktumu dengan senyum manismu. Buat mereka tersenyum, dan buat senyum itu tetap mekar sampai waktu itu datang. Simpan hujan hatimu untuk sesuatu yang lain. Tersenyumlah untuk sisa waktu.

Subuhku penuh hujan hati, mengeja ayat-ayatnya dengan sangat pelan. Usai salamku, Aku kembali tersenyum. Memulai semuanya dengan sebuah harapan. Sempat terlintas sebuah pemikiran.

Cara agar kau tidak di hantui rasa bersalah atau kesedihan yang mendalam karena kepergian seseorang adalah dengan cara :

1. Perlahan meninggalkannya, membiarkan dirimu belajar untuk terbiasa dengan ketidakhadiran orang tersebut. Mungkin kamu tidak akan terlalu sedih saat nanti, karena kamu sudah terbiasa dengan ketidakhadadirannya dalam hidupmu.

2. Temani dia, sampai waktunya. Hapus air matanya, buat dia untuk tetap tersenyum. Mungkin kamu tidak akan merasa sedih yang mendalam karena kamu telah menemaninya dan membuatnya tersenyum sampai saat nanti.

Apa yang kamu lakukan untuk aku? ku pikir yang pertama. Atau ada alasan lain yang tidak aku tahu…?

Ya, mungkin alasan yang lain. Sebuah alasan yang mulai kusadari kehadirannya. Alasan yang membuat nafasku semakin sesak. Semoga alasan itu bisa terus mebuatmu tersenyum, alasan yang mejaga senyummu itu tetap mekar, akan tetap mekar saat kamu tahu suatu kabar baru.

Dan ketika aku memilih untuk diam di antara pasir yang menderu dengan ombak, teringat sajak mentari yang menentang malam. Semua kehangatan bagaikan pisau es, dengan manisnya menyayat nadi hingga terputus. Dirangkul rasa dingin sakit itu tak terasa. Entah kenapa udara menjadi diam, dan aku terus bertanya. Kenapa?

Hanya punggungmu yang berani kupandang, hingga jarak pandang memisahkan kamu dengan mataku. Aku tahu sedikit tentang alasanmu yang lain. Tak berani ku mencari tahu lebih, tentang alasanmu yang lain. Karena aku tak mampu menahan sesak nafasku.

Keep smile untuk siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.

Untuk waktu dan untuk kata pertama.

(singkat cerita rekayasa)

0 komentar: